22 Nov 2010

Kekasih

Ia bermimpi

Tentang kebesaran, keindahan

Yang tak mampu ia lumerkan


Ia bercinta

Dengan malaikat dan iblis

Menjauhkan kebenaran


Apa yang ada dipikirnya

hanya ia yang memikirnya


Ia mati geni

Moksa diri


21 Nov 2010

Jatuh

Gerimis menyambut kepulanganku dari Gramedia sore tadi.
Sisa hujan deras beberapa jam sebelumnya
Saat buka pintu mobil, salah satu tas plastik hasil belanja jatuh terlempar ke selokan.

Aih, dengan semangat 45 kukejar plastik bungkusan itu.
Isinya DVD barney untuk Che dan DVD Film Indonesia berjudul Cin(T)a.
Pikirku, pasti DVD itu tidak rusak atau basah karena plastiknya lumayan kuat.

Dengan semangat 45 aku kejar bungkusan itu karena air selokan yang lumayan agak deras,
sisa hujan, membawanya perlahan.

Lalu srettt....gubrak... tubuhku terpelanting ke tanah dengan posisi paha kiri menahan semua tubuhku.

Wuah jatuh....sakit buanget!

Tapi aku harus berhasil mengejar kantong plastik itu!

Pius kuminta untuk membantu. Akhirnya ia berhasil mendapatkan DVD yang baru dibeli itu.

Syukurlah DVD-nya selamat dan bisa ditonton.

Namun naas, paha dan tanganku sekarang mulai ada membiru

10 Sep 2010

Sang Pencerah: Bukan Kafir(?)

Resensi Film

09-09-10

Puluhan orang berwajah keras berjalan cepat membelah sebuah perkampungan, memekikan takbir.

Allahu Akbar!...

Allahu Akbar!...

Hingga akhirnya mereka tiba disebuah surau kecil, bersahaja.

Sekumpulan pemuda yang sedang mengaji dalam surau menghentikan kegiatannya

lalu keluar menemui mereka.

Masih dengan memekikkan takbir, salah seorang pimpinan gerombolan

meminta para pemuda tersebut membubarkan diri

sembari menuding para pemuda yang sedang mengaji itu sebagai kafir.

Tidak terima dengan disebut kafir, pemuda itu membalas “Kau yang kafir!”...

Pertikaian pun terjadi.

Karena kalah jumlah, para pemuda penghuni surau tidak bisa berkutik.

Surau yang mereka gunakan tiap hari untuk beribadah, dihancurkan.

Dirobohkan.

Bukan! Adegan di atas bukan saya ambil dari salah satu kejadian yang baru terjadi belakangan ini di Indonesia. Bukan perseteruan antara pengikut Ahmadiyah dan FPI. Bukan pula terinspirasi cerpen AA Navis yang terkenal itu. Adegan ini saya cuplik dari salah satu adegan dalam film Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo.


Tadi sore, saat mendung menggelayuti langit Serpong, saya pergi ke BlitZ Megaplex Teras Kota. Tidak seperti biasanya, bioskop sepi. Bisa jadi semua orang sibuk melakukan persiapan akhir menyambut hari raya esok hari. Saya hitung tak lebih dari tiga puluh orang yang menonton film ini.


Saya bukan penikmat karya Hanung, apalagi penggemarnya. Tapi film daur ulang Sayekti dan Hanafi (2005) dan Perempuan berkalung sorban (2009) membuat saya memiliki penilaian bahwa Hanung pantas disebut sebagai sutradara yang punya nilai lebih. Walaupun nilai lebihnya itu masih belum cukup menebus ketololannya menyutradai Ayat-Ayat Cinta.


Jujur saja ketertarikan saya untuk menonton film Sang Pencerah lebih karena mendengar pernyataan Hanung pada saat promo film yang diliput TV swasta. Ia mengatakan filmnya ini masih relevan dengan situasi sekarang dimana orang dengan seenak-enaknya mengkafirkan orang lain. Sementara dua hari sesudahnya, saya sempat dengar Din Syamsudin, ketua PP Muhammadiyah masih merasa ada cerita yang belum pas dalam film ini.

Kafir, kekinian, Muhammadiyah, belum pas? Saya pun jadi penasaran, seperti apa sih film yang ber-budget 12 milyar ini.


Ini kiblatku, mana kiblatmu?

Para pembaharu Islam seperti Muhammad Abduh dan Al Afghani adalah tokoh-tokoh yang menginspirasi pemikiran Haji Ahmad Dahlan (Lukman Sardi) saat belajar Islam di Mekah. Sepulangnya dari Mekah, ia diangkat menjadi khatib Mesjid. Di depan para Kyai di Mesjid Besar Kauman, ia berceramah tentang doa tanpa perantara. Doa tanpa perlu meninggalkan sesajen. Praktek yang saat itu sangat lazim. Khotbahnya menuai respon negatif dari Kyai Penghulu Kamaludiningrat (Slamet Raharjo).

Konfrontasi halus dengan Kyai Penghulu semakin dalam setelah Ahmad Dahlan mengkritisi arah kiblat yang selama ini digunakan oleh para Kyai di beberapa Mesjid. Bermodalkan kompas dan peta dunia, ia presentasi arah kiblat di hadapan para kyai.


Menurut Dahlan, selama ini sebagian besar mesjid mengarah ke barat. Dan jika ditarik lurus, barat bukanlah arah yang tepat dalam kiblat karena mengarah pada benua Afrika dan bukan Mekah, Arab. Berdasarkan peta yang ia pegang, arah kiblat bangsa Hindia Belanda seharusnya Barat Laut, yakni serong 23 derajat dari yang dipraktekan pada saat itu.


Pendapatnya mengenai arah kiblat ditentang oleh para kyai. Salah seorang kyai dengan keras mengatakan bahwa bicara kiblat adalah bicara Qolbu. Tidak penting ke arah mana kita menghadap, yang utama adalah hati kita terhadap gusti Allah. Pernyataan ini kemudian direspon oleh Dahlan “Kalau begitu untuk apa didirikan Mesjidil Haram?”.


Dengan beberapa muridnya Haji Ahmad Dahlan memutuskan untuk mengubah kiblat sholatnya. Ibadah ia pusatkan disebuah surau/langgar kecil miliknya yang ada di depan rumahnya.


Praktek ini tentu saja membuat murka Kyai Penghulu dan para pengikutnya. Kyai yang digambarkan selalu membawa tasbih dan berzikir ini meminta para pengikutnya menindak kegiatan Haji Ahmad Dahlan. Lalu kejadiannya persis seperti yang saya gambarkan di awal tulisan. Surau dihancurkan oleh pengikut Kyai Penghulu, sang penanggung jawab mesjid besar Kauman. Ia dianggap kafir.


Berorganisasi dan Ajar

Kehancuran surau sempat membuat Ahmad Dahlan hendak meninggalkan Jogja. Tapi salah seorang kerabatnya mencegah niat itu. Kerabatnya pun memberikan dukungan dana untuk pendirian kembali surau-nya. Termasuk dukungan penuh dari istrinya, Siti Walidah (Zaskia Adi Mecca). Langgar Kidul Hadji Ahmad Dahlan ia bangun kembali


Bukan hanya itu, ia pun mulai aktif di perkumpulan Boedi Utomo dan mengajar agama Islam di sebuah sekolah Belanda. Ia tinggalkan ghamis arab dan mulai menggunakan baju model barat, yang semakin mengukuhkan pandangan bahwa ia mengadopsi cara-cara kafir.


Keinginan untuk memberikan pendidikan yang baik kepada para anak-anak miskin di Kauman mengentalkan keinginannya membuat Madrasah Ibtidaiyah Diniyah. Ia gunakan ruangan di rumahnya, pasang kursi dan meja serta papan tulis untuk mengajar. Gaya pengajaran barat. Gaya kafir. Satu adegan menarik digambarkan pada saat seorang Kyai dari Magelang melihat tempatnya mengajar.


Kyai Magelang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa Madarasah Ibtidaiyah adalah pendidikan Islami, oleh karenanya tidak perlu menggunakan kursi dan meja untuk pengajaran. Karena kursi, meja dan buku pelajaran berbahasa Belanda adalah simbol kafir. Dengan santai Haji Ahmad Dahlan justru bertanya mengapa Kyai itu naik kereta dari Magelang ke Yogya alih-alih jalan kaki. “Apakah kyai tahu bahwa kereta yang ia tumpangi merupakan buatan kafir?”. Sang kyai digambarkan langsung pergi dari tempat itu.


Aktivitas sosial Haji Ahmad Dahlan semakin menguat. Ia dan murid-muridnya tak segan-segan menolong kaum dhuafa dengan memberikan makanan dan pendidikan gratis. Kesadaran berorganisasinya pun semakin baik. Selain aktif di Beodi Utomo, ia juga masuk Jamiyatul Khair dan Syarikat Islam. Sampai akhirnya ia menyampaikan keinginannya kepada murid-muridnya yang setia Sudja (Giring Nidji), Sangidu (Ricky Perdana), Hisyam (Denis Adiswara), Fahrudin (Mario Irwinsyah) dan Dirjo (Abdurrahman Arif) untuk mendirikan perkumpulan. Nama Muhammadiyah sendiri adalah usulan dari salah satu muridnya, Sangidu.


Akhirnya dengan dibantu oleh rekan-rekannya di Boedi Utomo, Ahmad Dahlan berhasil mendapatkan ijin dari pemerintah Belanda untuk mendirikan perkumpulan Muhammadiyah. Cikal bakal organisasi besar Islam di Indonesia. Dan seperti yang berkali-kali ditekankan oleh Ahmad Dahlan, adalah organisasi sosial dan bukan organisasi politik. Film pun berakhir.


Hampir dua jam saya disuguhi, seperti biasa, akting yang baik dari Lukman Sardi. Sempat pula ia memainkan biola untuk mengajarkan makna agama. Sesuai dengan kebiasaan Ahmad Dahlan saat itu. Hampir saja saya lupa kalau Lukman adalah anak dari Idris Sardi, maestro biola Indonesia. Sempat tercengang juga awalnya melihat ia piawai menggesek biola. Akting ciamik lainnya datang dari Sujiwo Tejo (Mertua Ahmad Dahlan) dan Sitok Srengenge (HB VII). Peran mereka tidak banyak, tapi karakter yang mereka mainkan kuat sekali.


Sayang sekali peran Siti Walidah tidak terlalu menonjol. Padahal saya yakin istri Ahmad Dahlan berkontribusi besar terhadap kemajuan kerja-kerja dakwah suaminya. Namun demikian saya patut mengucapkan syukur karena Hanung cukup cerdas untuk tidak mengangkat aspek poligami Ahmad Dahlan dalam film ini.



Kafir, Kekinian dan Muhammadiyah

Kembali lagi pada rasa penasaran yang mengawali keinginan saya menonton film ini, maka saya akan coba evaluasi kembali film ini.


Soal kafir dan kekinian.

Hanung betul saat mengucapkan bahwa belum ada perubahan situasi dari masa lampau, seratus tahun lalu dengan saaat ini. Khususnya untuk isu keyakinan dan keberagamaan di Indonesia. Begitu banyak orang dengan mudah mengafirkan keyakinan orang lain. Dalam film ini, kebetulan yang dikafirkan adalah pihak yang dianggap benar. Sehingga, kita pun merasa marah jika yang benar di kafir-kafirkan. Memangnya enak dituduh Kafir? Ya tidak enak. Saya menghitung setidaknya ada dua puluh kali lebih kata kafir terucap di film ini.


Tapi bagaimana dengan jemaah Ahmadiyah? Yang pada saat tulisan ini dibuat mungkin sedang melafalkan takbir menjelang hari raya besok di tempat pengungsian? Bukankah mayoritas umat Islam juga menuduh mereka Kafir, sesat? Bahkan tidak tanggung-tanggung. Sama seperti surau Ahmad Dahlan yang dibakar pengikut Kyai Mesjid Besar Kauman. Mesjid yang sering dipakai ibadah kaum Ahmadiyah pun pernah dihancurkan.


Menonton film ini seharusnya membuat kita, sebagai mayoritas, semestinya merasa malu. Tidak perlu kita mengulang sejarah barbar dan dengan bangga menepuk dada sebagai pembela aqidah.

Dakwah lawan dengan dakwah. Propaganda ajaran agama lain yang kau anggap sesat, lawan juga dengan propaganda. Dengan dakwah. Itu nilai yang diusung dan ditinggalkan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan.


Soal Muhammadiyah dan kekinian

Dalam narasi akhir dituliskan jumlah universitas, politehnik, SMA, SMP, TK, RS dsb yang membawa nilai-nilai ajar Ahmad Dahlan. Pada saat yang bersamaan saya berpikir. Apakah ada dari sekian ratus tempat itu yang dikelola secara gratis? Mengandalkan shodaqoh dari umat untuk pengelolaan-nya?


Termasuk pertanyaan apakah Muhammadiyah hanyalah sekedar organisasi sosial dan bukan organisasi politik?

Lihat kampus UNMU di Malang. Berapa puluh juta rupiah seorang mahasiswa harus menggelontorkan uang untuk masuk ke kampus megah itu? Coba periksa Muhammadiyah Limau. Mahal. Menonton film ini, khususnya bagian mengajak gembel-gembel dan pengemis-pengemis sekitar Kauman untuk dikasih makan dan sekolah, membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Hari gini? Memang betul masih ada?

Saya hanya berharap orang-orang Muhammadiyah dan juga non Muhammadiyah benar-benar tergugah hatinya setelah melihat film ini. Mengingat kembali, bahwa menjadi seorang Muhammadiyah adalah bukan sekedar anti terhadap tahlil dan selametan. Namun lebih pada menjadi muslim yang setia dengan nilai-nilai rahmatan lil alamin dan menjunjung toleransi dengan mengacu pada semangat Lakum Dinukum Waliyadin (agama-mu, agama-mu... agamaku ya agamaku).

Lalu apa ya yang dianggap masih belum pas oleh Din Syamsudin? Ah kamu cari tahu saja sendiri ...

***

22 Agu 2010

I am woman - Helen Reddy

I am woman, hear me roar
In numbers too big to ignore
And I know too much to go back an' pretend
'cause I've heard it all before
And I've been down there on the floor
No one's ever gonna keep me down again

CHORUS
Oh yes I am wise
But it's wisdom born of pain
Yes, I've paid the price
But look how much I gained
If I have to, I can do anything
I am strong (strong)
I am invincible (invincible)
I am woman

You can bend but never break me
'cause it only serves to make me
More determined to achieve my final goal
And I come back even stronger
Not a novice any longer
'cause you've deepened the conviction in my soul

CHORUS

I am woman watch me grow
See me standing toe to toe
As I spread my lovin' arms across the land
But I'm still an embryo
With a long long way to go
Until I make my brother understand

Oh yes I am wise
But it's wisdom born of pain
Yes, I've paid the price
But look how much I gained
If I have to I can face anything
I am strong (strong)
I am invincible (invincible)
I am woman
Oh, I am woman
I am invincible
I am strong

FADE
I am woman
I am invincible
I am strong
I am woman